Selasa, 14 Juni 2011

Sepak Bola Api Attarmasi

Atturmusie : Ditengah tengah semarak-semaraknya negara eropa mengadakan pertandingan sepak bola antar club-club papan. Pemain-pemain tangguh dunia saling beradu dan mempertontonkan kepiawaian dan kelincahan mereka bermain dan memainkan si kulit bundar hingga menembus gawang musuh.
Olah raga Sepak Bola diperkirakan sudah ada semenjak 2-3 abad SM. Ia berasal dari China. Awalnya, di sana disebut Tsu Chu. Tsu berarti “menendang bola dengan kaki”. Sedangkan Chu artinya “bola dari kulit dan ada isinya”. Selanjutnya, permainan ini menyebar ke seluruh pelosok dunia dan paling digemari banyak orang.
Namun, berbeda dengan Tsu Chu yang bolanya terbuat dari kulit dan di dalam berisi angin, santri-santri Perguruan pondok Tremas pacitan biasa bermain sepak bola yang bolanya terbuat dari kobaran api. Setiap malam tahun baru hijriah Atau yang biasa dikenal dengan malam 1 syuro , santri-santri di Pesantren Tremas, arjosari, Pacitan merayakannya dengan pentas seni sepak bola api.Adapun tradisi permainan bola api ini sudah ada semenjak zamanya al magfurlah KH Hasyim Ihsan.Dengan tujuan memeriahkan tahun baru hijriyah dan memberikan semangat santri agar suka melakukan riyadhoh.
Sepak bola api sebetulnya tidak jauh berbeda dengan sepak bola pada umumnya. Hanya saja, bolanya terbuat dari buah kelapa yang sudah kering, kemudian dikuliti lapisan luarnya. Setelah itu, di rendam di minyak tanah selama beberapa minggu. Pada saat akan dimainkan, bolanya dibakar dan di mainkan laksana menendang bola umumnya pemain bola.
Berbeda dengan sepak bola biasa, sepak bola api tidak hanya mengandalkan kekuatan fisik, keberanian, kecerdikan, kepiawaian serta ketangkasan dalam memainkan bola, melainkan harus dibekali ketangguhan psikis dan kekuatan spiritual. Sebelum bermain, para santri harus melewati “ritual khusus” agar tahan panas dan tidak mempan api.
Mereka harus berpuasa mutih selama 7 atau 21 hari dan di akhiri dengan merendam diri di air sungai,dan tentunya juga mengamalkan aurad-aurad (wiridan/bacaan) tertentu, yang dibaca di waktu-waktu khusus, serta menghindari makanan-makanan yang dimasak dengan api (bila al-nar), mengandung unsur nyawa (bila al-ruh), dan biasanya diakhiri dengan “matigeni” (puasa satu hari satu malam tanpa tidur).
Setelah melewati ”ritual” tersebut, para santri memiliki kekuatan tahan panas dan tidak mempan api, sehingga dengan leluasa menendang, memegang, bahkan menyundul bola api tanpa merasakan panas, gosong, apalagi terbakar. Seolah-olah api itu sudah “ditundukkan” dan “dijinakkan” sehingga tidak lagi berbahaya, malah dijadikan tontonan dan permainan.
Permainan bola api tersebut seakan telah membalik ketentuan dan keteraturan hukum alam. Api yang seharusnya panas dan membakar, tidak lagi tunduk dan patuh pada asal kejadiannya.
Bukan tontonan tapi tuntunan
Suatu ketika sebuah stasiun televisi swasta melakukan liputan khusus pertandingan sepak bola api untuk ditayangkan pada program khusus di televisi tersebut. Di tengah-tengah permainan, tiba-tiba host acara tersebut yang kebetulan orang Bule meminta ikut pertandingan. Tanpa puasa dan tanpa melewati ritual khusus, si Bule berbaur mengikuti pertandingan sampai selesai. Ternyata, ia tidak gosong juga tidak terbakar. Mengapa?
Memang, permainan sepak bola api bukanlah satu-satunya tradisi milik santri di Pesantren Tremas Pacitan, melainkan di daerah-daerah lain di Indonesia juga mempunyai tradisi yang sama. Bahkan, di daerah tertentu, bola api dimainkan oleh anak-anak kecil. Namun, rata-rata menggunakan trik dan kecepatan kaki sehingga tidak panas dan tidak sampai terbakar.
Dengan demikian, kalau hanya sekadar tontonan dan hiburan, bola api bisa dimainkan oleh siapapun, kapanpun, dan dimanapun. Sebagaimana ketika pemodal (media massa) mengambil alih tradisi ini sebagai sebuah komoditas yang diproduksi, direproduksi secara massal, ia tidak lagi memiliki makna apa-apa selain sebuah “pertunjukan” yang berorientasi materi.
Tetapi, bagi santri-santri di Pesantren Tremas pacitan, sepak bola api bukanlah sekadar tontonan yang menghibur, melainkan mengandung sebuah tuntunan, pesan dan dakwah. Untuk memainkan permainan langka ini, para santri harus melakukan latihan spiritual (riadloh), seperti puasa dan menghindari makanan-makanan tertentu.
Dalam diri setiap manusia terdapat unsur (anasir) api. Api adalah nafsu yang membakar, menghuni, sekaligus menguasai setiap manusia. Orang yang membiarkan dirinya terbakar oleh nafsu, maka seluruh sikap, prilaku, dan tindakan akan berpotensi merusak. Sehingga, timbulah kekacauan (chaos), kerusakan, ketidakstabilan, dan disharmoni.
Oleh karena itu, agar hidup manusia tidak didikte dan dikendalikan oleh nafsu, maka ia harus dijinakkan dengan cara berpuasa dan melakukan keselarasan dan keseimbangan (harmoni) dengan alam (pantangan memakan makanan yang mengandung unsur nyawa dan dimasak dengan api). Dengan ini, terjadilah keseimbangan, keselarasan, dan keharmonisan hidup dan kehidupan.
Bola api, bagi santri-santri Pondok Tremas Pacitan, adalah semacam ritual olah batin atau latihan spiritual yang tujuannya untuk mendekatkan diri dengan sedekat-dekatnya kepada Tuhan, sekaligus menunjukkan kekuasaan-Nya yang tidak terbatas, yang dikemas dalam bentuk olah raga dan hiburan.
Itulah tradisi santri-santri tremas, semoga ada hikmahnya Ami...n.

Tidak ada komentar:

Visit the Site
MARVEL and SPIDER-MAN: TM & 2007 Marvel Characters, Inc. Motion Picture © 2007 Columbia Pictures Industries, Inc. All Rights Reserved. 2007 Sony Pictures Digital Inc. All rights reserved. blogger templates